Di dalam sejarah, di luar surga, manusia kecewa. Tapi seperti harapan, kecewa juga lahir dari rongga yang bisa menelannya kembali. mungkin rongga itu sebenarnya rasa syukur yang luas tapi tak selalu jelas.
(Goenawan Mohamad)

Rabu, 04 Januari 2012

NGABEN


Ngaben[1]
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi  dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang disebut panca Yadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk para leluhur. Seperti halnya setiap Yadnya (pengorbana suci), seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;
Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan  Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
-          Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya,  yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
-          Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
-          Membersihkan sawanya (mresihin)
-          Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
-          Ngaben/atiwa-tiwa
-          Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atma wedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitraPitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.

Arti simbolik upakara[2]
1.      Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagai pembersihan.
2.      Sarana upakara
-          Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
-          Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
-          Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
-          Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
-          Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
-          Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
-          Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
-          Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
-          Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
-          Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
-          Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
-          Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
-          Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
-          Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
-          Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
-          Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
-          Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
-          Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
-          Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
-          Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
-          Angenan
Symbol jantung manusia
-          Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
-          Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
-          Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
-          Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
-          Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
-          Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
-          Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
-          Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
-          Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
-          Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
-          Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
-          Pemanjangan
-          Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
-          Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
-          Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya

Upacara[3]
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.

Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).

Ngaben sarat relevansinya masa kini[4]

Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).

Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.

Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.


Daftar Pustaka

Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya: Paramita. 2002
Kaler , I Gusti Ketut,  Ngaben.  Yayasan Dharma Naradha 1993
Ali , I Nyoman Gustav,  Menggugah Bali .


[1] Drs. I nyoman Singgin Wikarman “Ngaben” Paramita Surabaya 2002
[2] Ibid hal 2
[3] I Gusti Ketut Kaler “ Ngaben” Yayasan Dharma Naradha 1993
[4] I Nyoman Gustav Ali “ Menggugah Bali “

Hari-hari suci Agama Hindu di Indonesia


A.        Pendahuluan

Tiap–tiap golongan manusia yang ada di dunia ini, baik sebagai warga dari suatu negara atau bangsa, maupun sebagai penganut dari suatu agama. Masing-masing mempunyai hari raya tertentu yang dianggap suci (kramat) dan mulia, yang tidak dilewatkan begitu saja tanpa disertai dengan suatu upacara perayaan (peringatan), meskipun hanya secara sederhana saja.
Hari-hari suci bagi umat Hindu, ialah suatu hari yang dipandang suci, karena pada hari-hari itu umat hindu wajib melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha kuasa) beserta segala manifestasi Nya. Hari- hari suci pada hakekatnya merupakan hari-hari peyogaan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari-hari tersebut merupakan hari-hari yang baik untuk melakukan Yadnya.
Yadnya ini dilakukan oleh umat manusia. Sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap hyang Widhi (Tuhan Maha Pecipta), atas segala cinta kasih-Nya yang tidak terbatas yang telah dilimpahkan-Nya dan atas sinar suci atau rahmat-Nya kepada semua kehidupan di dunia ini.

B.         Hari Nyepi (Tahun baru)

Hari Nyepi[1] diperingati sebagai tahun baru Caka, yang jatuh sehari sesudah X (Kesada). Adapun Rangkaian Hari Nyepi (Tahun Baru Caka) ini, adalah sebagai berikut:
1.      Melis/Mekiis/Melasti, yang jatuh pada trayodasa krenapaksa sasih IX (Kesanga) atau pada pengelong 13 sasih Kesanga adalah Hari yang baik untuk mengkiyis atau melis ini, juga dimaksudkan untuk mengadakan pembersihan atau penyucian segala sarana dan prasarana perangkat alat-alat yang dipergunakan untuk persembahyangan. Melis ini biasa dilakukan dilaut atau pada sumber air yang lain sesuai dengan desa, kala dan patra umat masing-masing dengan tujuan memohon tirtha amertha (air kehidupan) dan tirtha pembersihan kehadapan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Maha Kuasa).
2.      Upacara Bhuta Yadnya (Tawur atau meracu), jatuhnya pada Tilem sasih kesanga. Hari ini disebut juga pengerupukan yang bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur kejahatan yang merusak kesejahteraan umat manusia. Di saat umat hindu bersiap untuk melepaskan tahun lama dengan mengadakan pecaruan agar segera kekuatan yang negatif tidak mengikuti manusia melangkah ketahun yang baru. Di samping itu adalah untuk menormalisir unsur-unsur panca Mahabhuta, yaitu lima unsur yang menjadi alam semesta (makrokosmos) dan badan makhluk hidup (mikrokosmos).
3.      Sipeng (Hari Nyepi), yang disebut juga sebagai tahun Baru Caka pada hari ini umat melakukan tapa, bratha, yoga, samadhi, satu hari penuh (24 jam), untuk mengekang hawa nafsu, tidak makan dan tidak minum. Pemadaman nafsu-nafsu ini diperagakann dengan tidak menyalakan apai (amati geni) tidak bekerja (amati karya), tidak berpergian (amati lelangun). Jelasnya pada sipeng ini kita menyucikan diri dan memusatkan pikiran dengan mengendalikan segala nafsu, berpuasa, bertapa samadhi menciptakan ketenangan dan kedamaian sehingga pikiran bisa bergerak menjelajahi atau meneliti kembali segala perbuatan yang telah diperbuat di masa lalu dan memupuk perbuatan yang baik serta melebur yang tidak baik. dengan hikmah Nyepi (Tahun Baru Caka) kita peringatkan agar berbuat dengan “ Sepi Ing Pamrih”.
4.      Ngembak Api (Gni), yang jatuh sehari setelah Nyepi. Hari ini memulainya aktivitas kita dengan panjatan doa, mohon semoga Hyang Widhi menganugrahi kita jalan yang terang, terlepas dari mkegelapan masa silam dan dengan jiwa terang memasuki Tahun Baru. Saat ini pulalah kita hendaknya salaing maaf memaafkan antara sesama manusia sebagi makhluk Tuhan.

C.        Hari Ciwaratri

Ciwaratri berarti malam renungan suci atau malam pelaburan dosa. Hari Ciwaratri jatuh pada Purwanining Tilem Ke VII (kepitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan januari.[2] Pada hari ini kia melakukan Puasa dan Yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan hari Hyang widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidnya (kegelapan).
Hari ciwaratri kadang kala disebut juga hari pejagaran. Karena pada hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Yang bermanifestasikan sebagai Ciwa dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan Yoga Yoga semalam suntuk, karena Itu pada hari Ini kita memohon kehadapan- Nya agar segala dosa –dosa kita dapat dilebur.
Pada malam Ciwaratri ini. Setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya (dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Ciwaratri. Hal ini disebutkan dalam kitab Padma Purama. Bahwa sesungguhnya malam Ciwaratri itu adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang didalam hidupnya.

D.        Hari Galungan

Galunagan adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan keselamatan hidup serta agara dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah hari pawedalam jagat.[3] Yaitu pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada hari rabu kliwon Wuku Dungulan.[4]
Galungan merupakan perlambang perjuangan antara yang benar (dharma) nmelawan tidak benar (adharma) dan juga sebagi pernyataan rasa terimakasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptkan Hyang Widhi ini.
Disamping itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan rasa bahagia atas kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun dengan diiringi oleh para dewa dan para Pitara ke dunia.
              Sehari sebelum galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari Penampahan. Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan dalam rangka menyambut hari raya Galungan (Besoknya), karena pada hari Penampahan iini manusia berusaha digoda oleh nafsu-nafsunya yang bersifat negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya, yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang waspada dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai adanya dorongan nafsu marah, sering terjadi pertengkaran-pertengkaran .perselisihan dan lain sebagainya.

E.         Hari kuningan

Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210 hari sekali yakni sepuluh hari setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari payogaan Hyang Widhi yang turun kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan Pitara pitari melimpahkan Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari Kuningan kita hendaknya mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan, perlindungan dan tuntunan lahir bathin.
Pada hari kuningan ini, sajen (banten) yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yanng berwarna kuning. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan dan kolem yang dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang ini adalah simbol alat penangkis dari serangan, endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan, tebu, tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat atau tidur. Upacara persembanhyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum tengah hari. 

F.         Hari Purnama dan Tilem

Purnama dan Tilem, Juga merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan untuk memohon berkah, rahkmat dan Karunia dari Hyang Widhi.
Pada hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah Payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur segala mala (kekotoran) yang ada di dunia.
Bila pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan hyang Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang Widhi.
Demikianlah hari Purnama dan Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh umat Hindu untuk memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada hari Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyanngan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada pengalaman ajaran agama.
Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa), sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (krsna paksa). Baik purnama maupun Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari sekali.
Pada hari Purnama dan Tilem ini kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin, karena itu, disampping bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat penting didalam kehidupan manusia. Disamping itu pula air merupakan sarana pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.

G.        Hari Saraswati

Hari Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi dalam menifestasinya dan kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau turunya Weda yang dirayakan setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasin-Nya menurunkan Ilmu pengetahuan dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan Dewi ilmu pengetahuan Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan hari penting untuk memuja kebesaran hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah dianugrahkan itu.
Dewi Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta), yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat menciptkan yang baru.



Bab II
Hari-hari suci Agama Hindu Di India

A.        Chaitra Purnima

Hari suci ini jatuh pada purnama Bulan Chaitra (ke 9) di bali bersamaan dengan Purnama kadasa (WAISAKA ), sekitar Maret-April. Pada hari ini umat melakukan pemujaan terhadap Dewa Yama. Umat biasanya mengaturkan sesaji berupa nasi lengkap dengan bumbunya. Setelah persembahan. Umat biasanya makan bersama (prasadam). Hari raya ini sebenarnya jatuh pada purnama dibulan pertama, menurut kalender Hindu.[5] Sebab Umat Hindu memandang Bulan Chaitra sebagai awal tahun baru sehingga perayaan ini bisa jadi sekaligus merupakan perayaan tahun baru Saka.

B.        Durgapuja

Hari suci ini di rayakan pada suklapaksa (penanggal) sampai 10 pada bulan Asuji, sekitar September- oktober. Pada sistem kalender bali, ini bertepatan dengan bulan kartika (sasih kapat). Hari durgapuji ini juga diperingati setelah Rahmawavani yang jatuh pada suklapaksa kesembilan.
Pada hari ini, umat pertama-tama melakukan pemujaan di rumahan masing-masing. Pada hari ini, umat juga memuja Siva Ganesha dan dewa-dewa lainya. Pada perayaan ini, umat biasanya menggarak patung dewi Durga berlengan delapan lengkap dengan senjatanya. Umat biasanya melakukan bhajan.[6] Semalam suntuk untuk memuja durga. Mereka biasanya menggunakan tempat-tempat umum, seperti di dekat pasar dan sejenisnya. Pada puncak acara, umat biasanya juga melakukan mandi suci ke sungai-sungai suci.

C.        Dipavali

Hari suci ini biasanya di peringati pada Krsnapaksa ke 14 (pangelong ping 14) bulan kartika. Pada sistem kalender di Bali bertepatan dengan sasih kalima. Hari suci ini dilaksanakan untuk memperingati kembalinya Sri Rama ke Ayodhya.[7] Sehingga umat menyambut beliau dengan menyalahkan Dipa, sejenis lilin-lilin kecil.

D.        Gayatri Japa

Hari suci ini untuk memperingati turunya Mantram Gayatri.[8] Mantram ini adalah ibu daripada semua Mantram dalam Weda. Hari suci ini sangat dikramatkan umat Hindu. Hari suci ini jatuh pada Purnama Srawana, sekitar Juli-Agustus. Hari suci Ini bertepatan dengan purnama Karo (Bhadrapada) menurut sistem kelender umat Hindu di Bali.

E.        Guru Purnima

Hari suci ini juga disebut Vyasa Jayanti, atau hari kelahiran Maharsi Vyasa. Hari suci ini jatuh padaPurnama Asadha, sekitar Juni-Juli. Menurut perhitungan kalender hindu dibali, ini bertepatan dengan purnama kasa (Srawana). Hari ini sangat penting bagi para Sannyasin. Pada hari ini, mereka akan berhenti mengembara. Mereka akan tinggal diasram-asram untuk mendiskusikan Brahmasutra dan bermeditasi.


Bab III
Tempat tempat Suci Agama Hindu

A.          Istilah-istilah Tempat Suci

Tempat suci bagi umat Hindu, dapat disebut dengan bermacam-macam istilah, seperti:
1.      Pura
Istilah pura berasal dan kata “pur”. Yang artinya kota, benteng atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok. Hampir semua pura (tempat Suci) dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci.
2.      Candi
Candi artinya Ciwa.[9] Bentuk pokoknya adalah segi tiga yaitu lambang purusa, sebagai wisesanya Hyang Widhi untuk mencipta atau mengadakan. Lambang ini adalah lamabang Ciwa sebagai paksa agama Hindu. Jadi bukan bagian dari Tri Murti atau Tri Sakti. Candicandi ini banyak terdapat di India dan di Jawa, sedangkan Candi yang terdapat di gunung Kawi (Tampak Siring Bali) bukanlah lambang Ciwa, melainkan adalah terdapat penyungsungan seorang Raja yang di makamkan disana dengan permaisurinya.
3.      Kahyangan atau Parhyangan
Kahyangan atau Parhyangan. Berasal dari kata “Hyang”. Biasanya dihubungkan dengan sang dang, merupakan kata sandang yang di tempatkan didepan sesuatu yang dimuliakan, dihormati, misalnya sang Hyang Widhi, Sang Hyang Dharma, Dang Hyang Drona, hyang Guru, dang Hyang Niratha dan lain sebagainya. Jadi “Hyang”. Yang berarti sesuatu yang muliakan, disucikan, dijunjung, di hormati. Kata Hyang ini kemudian mendapat awalan “Ka” dan akhiran “An” (ka+hyang+an) sehingga menjadi kata Khyangan yang berarti tempat, kedudukan linggih, sthana. Demikian pula kata parhyangan”. Yang artinya tempat kedudukan suci yang di sucikan. Selanjutnya yang di maksud dengan kahyangan atau parhayangan disini, bukan saja bangunan yang berfungsi sebagai sthana, linngih atau temapt kesucian itu, tetapi juga seluruh komplek dengan halaman dari tempat suci.
4.      Istilah istilah lainnya
Istilah istilah lain adalah Pengayatan, Pengawangan, Pengubengan, Pengayengan, Dewagrha-Mandira, Persimpangan dan lain-lainnya. Ditempat ini hyang Widhi beserta manifestasinNya disthanakan dan di puja pada waktu tertentu apabila diperlukan. Misalnya pada hari raya agama Hindu. Pengahayatan, Penyawangan, pengubengan dan sejenisnya ini merupakan linggih atau sthana Hyang Widhi yang bersifat sementara, yakni sebagai persimpanagan saja. Melalui tempat-tempat suci ini kita memusatkan pikiran dan memohon kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasiNya agar berkenan bersthana pada tempat yang telah tersedia, serta mengabulkan doa yang kita panjatkan kehadapan- Nya.

B.          Fungsi tempat Suci

Tempat suci mempunyai funsi yang amat penting bagi Umat Hindu funsi yang hampir meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Hindu.[10]
Sebagaimana disebutkan dalam sastra agama, maka fungsi tempat (Pura) itu adalah sebagai berikut:
1.      Pura adalah temapt beribadat, tempat manusia mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi, tempat memohon dan bersujud kehadapan Tuhan yang Maha Pecipta. DiPuralah tempat manusia mempersatukan dirinya kepada Tuhannya.
2.      Pura juga merupakan tempat memperlai mengikrarkan sumpahnya atas pesaksian Sang Hyang Widhi untuk memasuki hidup baru, mereka berjanji tetap setia sehidup semati bersama dalam suka maupun duka untuk membawa rumah tangga yang berbahagia sesuia dengan tuntunan agama    
3.      Temapt untuk memuja roh-roh suci yang dipandang suci baik roh suci leluhur, roh para Rsi maupun raja-raja yang dianggap telah menjadi Dewa-dewi.

C.          Jenis-jenis Tempat Suci

Jenis-jenis tempat suci berdasarkan atas karakternya. Dapat dibagi menjadi 4 empat bagian besar yaitu.
1.      Pura keluarga
Pura keluarga ini juga disebut Sanggah, pura Dadya, Pura Kawitan Pura Pedharman, Paibon, Panti dan lain sebagainya kelompok pura ini didukung oleh segolongan orang-orang yang mempunyai hubungan darah (genealogic). Oleh karena itu Pura –Pura iini ada dilingkunagan rumah tangga. Jika pendukungnya ada didalam lingkup yang lebih kecil disebut dengan Sanggah atau pamerajan, dan apabila keluarga bersangkutan telah bertambah besar dan meluas, maka didirikanlah pamerajan atau sejenisnya.
2.      Pura Desa
Pura Desa ini disebut pula pura kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, yaitu Pura temapt memuja Hyang widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Wisesa dan Tri Murti. Pura ini terdiri dari Pura Desa (Balai Agung) ialah tempat pemujaan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma yaitu Pecipta, Pura Puseh atau Pura segera ialah tempat pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Wisnu yaitu pemelihara.[11]
3.      Pura Kahyangan jagat ini juga disebut dengan pura umum, artinya adalah suatu Pura yang didukung dan disungsung oleh Umat Hindu yang ada di seluruh Indonesia pada Khususnya dan seluruh Umat Hindu umumnya. Di Indonnesia, Pura yang paling besar yang tergolong Kahyangan jagat ini adalah Pura Besakih. Dalam perkembangan selanjutnya banyak lagi pura atau Kahyangan yang dapat di katagorikan sebagai Kahyangan Jagat, seperti misalnya Pura Mandara Giri Semeru Agung Senduro Lumajang Jawa Timur dan lain-lainya.
4.      Pura yang besifat Fungsional
Yang dimaksud dengan Pura Fungsional di sini adalah dimana pemuja, pendukung atau penyungsung dari Pura atau tempat suci tersebut mempunyai suatu kepentingan yang sama dalam hal-hal tertentu. Tempat suci yang termasuk golongan Fungsional ini adalah Pura Subak (Ulun suwi/Ulun Carik) dan lain, sebagainya. Pura subak, mereka mempunyai kepentingan yang sama terutama dalam mendapatkan air untuk sawah-sawah mereka.maka bersama-sama lah mereka mendirikan Pura.






DAFTAR PUSTAKA

Warman I Nyoman Singgin dan Sutara I Gede. Hari Raya Hindu Bali-India. Surabaya: Paramita. 2003.
Oka Netra Anak Agung Gde. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma. 2009.
Suarka I Nyoman. Ketuhanan Bali; Kajian Analisis dan Era Baru Empu Kunturan. Surabaya: Paramita. 2005.





[1] Drs. Anak Agung gde Oka Netra, widya dharma 2009.
[2] Prof. Dr I.b. Mantra ; tata susila Hindu Dharma, 1989
[3] Cudamani; pengantar agama hindu III , 1983-1984
[4] I Nyoman singgi Wikarman, hari raya Hindu bali-India suatu perbandinga. (surabaya: Paramita 2005). Hlm 29
[5] Sistem kalender umat hindu dibali lebih awal satu bulan dengan sistem kalender di India. Sebab umat Hindu di bali lebih dahulu melihat matahari berada diatas kepalanya pada pergerakan semu matahari dari selatan ke utara .
[6] Bhajan adalah sebuah festival yang mengindungkan nama-nama suci Tuhan pada hari suci ini, umat hindu di india biasanya melakukan bhajan semalam suntuk. Mereka biasanya menari-nari dan menyanyi bersama-sama.pada akhir pemujaan.
[7] Lihat kisah suci ramayana. Pada akhir cerita shri Rama diceritakan kembali ke ayodhya. Hari ini merupakan hari yang berbahagia. Penduduk menyalahkan lilin untuk menyambut kedatangan sang pahlawan  ini.
[8] Bagi yang membaca Adi Parwa, mahabrata akan mengetahui kisah turunya Mantra gayatri ini. Pada kisah tesebut diceritkan Maharsi Wismawitra menerima wahyu ini setelah beliau menghilangkan rasa egonya yang tinggi dengan memohon persahabatan dari pesaingnya Maharsi Wasista.
[9] Drs. Anak agung Gde Oka netra. Tuntunan dasar Agama Hindu.(Denpasar:Widya dharma: 2009) hlm, 83
[10] Made Dibia ; orang-orang Suci Agama hindu
[11] I Nyoman suarka, Ketuhanan Bali kajian analisis era baru empu keturunan (surabaya: Paramita 2005) , hlm 32-34